Bisnis.com, JAKARTA — Begitu diumumkan ada yang positif terjangkit virus corona, seketika heboh dan terjadi panic buying di beberapa tempat, khususnya Jakarta.
Sudah beberapa waktu para pengamat ekonomi menyampaikan wabah virus corona menyebabkan banyak industri di China berhenti dan Indonesia yang tergantung produk dari China juga ikut terkena imbasnya.
Rata-rata para ekonom dan pengamat itu mengkhawatirkan tekanan ekonomi walau mereka bukanlah pengamat industri atau pelaku industri. Mereka lebih menganalisis secara makro, investasi, dan sedikit soal impor tanpa pernah bicara tentang industri manufaktur di Indonesia.
Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia dalam 20 tahun terakhir tidak pernah lebih dari 4 persen per tahun, sehingga perannya dalam PDB terus menurun. Angka 2019 terjun menjadi 19 persen dari 23 persen pada 2014, dan bahkan dari 30 persen pada 1997.
Sepertinya, hal ini seperti merupakan penegasan dari sebuah buku yang terbit pada 2011 berjudul Keruntuhan Industri Strategis di Indonesia (Sampurno-Kuffal, 2011).
Porsi Industri Manufaktur dalam GDP (%)
Buku tersebut menandai keruntuhan industri strategis dengan pembubaran PT DSTP Tbk. pada 1999 dan PT BPIS (Persero) pada 2002, yang saat itu baru 3 tahun menjadi induk/holding BUMN Industri Strategis.
Industri strategis atau yang berbasis teknologi, menurut Tadahiro Sekimoto (1990) dan John Carey (1994), merupakan penggerak perekonomian dunia dan sebelumnya Mark Elam (1993), menunjukkan adanya pergeseran persaingan perdagangan dunia dari natural-resource based menjadi lebih technology-based. Kondisi ini menjadikan SDM yang berkualitas sebagai kekayaan terbesar dan faktor penentu kemajuan masa depan suatu bangsa2.
Industrialisasi Indonesia
Secara tradisional, mengutip Asa Briggs (1963), perekonomian Indonesia bertumpu pada ekspor hasil bumi seperti migas, batu bara, karet, dan produk pertanian. Industrialisasi yang dimulai awal 1960an baru dipacu pada akhir 1970an, dengan mempercepat kemampuan penguasaan teknologi di sektor industri pengolahan/manufaktur.
Pada akhir 1980an, Indonesia mengembangkan industri berbasis teknologi walaupun banyak perdebatan mengenai strategi pengembangannya, seperti disampaikan Djojohadikusumo (1985). Mulai dikembangkan industri sekunder seperti kimia, pengolahan migas, plastik, pengolahan mineral, logam, dan industri permesinan.
Keberhasilan kebijakan tersebut terlihat dengan naiknya kontribusi sektor industri di PDB dari 8,5 persen pada 1965 menjadi 25,6 persen pada 1997.
Penguasaan teknologi dalam industri tidak berarti menggunakan teknologi canggih semata, tetapi memberikan sumbangan kepada kesejahteraan nasional melalui proses nilai tambah melalui tahapan penguasaan teknologi.
Strategi penguasaan teknologi melalui wahana yang ditetapkan dapat menjamin pertumbuhan yang berkesinambungan karena memberikan nilai tambah yang tinggi.
Penerapan kebijakan di atas terlihat saat kita mengamati intensitas faktor produksi seperti disampaikan di Tabel 1, di mana 54 persen dari output sektor industri pada 1988 masih berasal dari industri yang mengolah sumber daya alam seperti kayu, produk karet, dan komoditi pertanian.
Sementara itu, produk berteknologi hanya berperan 10,7 persen dari total output dan 6,8 persen dari total ekspor. Pada 1995, peran ini meningkat cukup tajam menjadi 14,8 persen dari total ekspor, tapi kemudian turun menjadi 11,8 persen pada 2010.
Namun, pemilihan industri tertentu harus mempertimbangkan aspek ekonomis serta aspek-aspek lain yang akan menentukan kelangsungan hidup industri itu sendiri yaitu “potential demand” yang dipengaruhi oleh geografis, pergerakan penduduk, perkembangan ekonomi, kebutuhan prasarana dan sarana ekonomi untuk pembangunan ekonomi selanjutnya serta kepentingan keutuhan dan kesatuan wilayah nasional. (Rice, 1998)
Dengan kriteria tersebut, ditetapkanlah industri Aerospace, Maritime and Shipbuilding, Land Transportation, Energy Generating, Engineering and Construction, Agricultural Machinery, Defense Equipment, Telecommunication and Electronics, Related and Supporting Industries.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok Industri Strategis, yang berdasarkan ISIC dikategorikan sebagai industri dengan intensitas teknologi “medium-high and high technology” yang sangat penting sebagai sokoguru sektor industri.
Namun, disadari pula bahwa konsep dan strategi industrialisasi dengan mengembangkan industri berbasis teknologi memerlukan investasi relatif besar. Tabel 2 memperlihatkan bahwa struktur investasi masih didominasi industri berteknologi rendah.
UNIDO (1997) melaporkan bahwa pada 1994, pangsa investasi di bidang teknologi tinggi di Malaysia, Singapura, dan Filipina adalah masing-masing 33,8 persen, 16,7 persen, dan 48,8 persen, sedangkan Indonesia hanya sekitar 6,4 persen dari total investasi.
Tahapan Penguasaan Teknologi
Di Indonesia, usaha meningkatkan kemampuan penguasaan teknologi secara nasional baru dimulai pada akhir dekade 1970an melalui BUMN industri tertentu, dengan mendorong kegiatan Research and Development (R&D).
Pada 1980an, sektor industri menghadapi kurangnya tenaga terampil dan kurang efektifnya manajemen perusahaan yang mengakibatkan rendahnya produktivitas dan sulitnya pelaksanan kegiatan R&D.
Pada 1989, pemerintah mendirikan Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS). Perannya adalah menjembatani program transformasi industri pemerintah yang memerlukan investasi relatif besar dengan orientasi penguasaan teknologi melalui pentahapan penguasaan teknologi.
Tahap pertama dilaksanakan dengan belajar secara langsung dan mendapat pengalaman dalam berbagai aspek teknologi yang sudah ada. Ini dilakukan dengan mengikuti secara langsung proses pembangunan berbagai industri proses seperti industri pengilangan minyak, pabrik pupuk, semen, dan baja.
Kemampuan mengoperasikan pabrik tanpa technical assistant menjadi indikator keberhasilan pada tahap awal ini.
Pada tahap kedua, sasarannya adalah mengurangi ketergantungan pada pemilik teknologi setelah keterampilan dan keahlian diperoleh di tahap pertama. Tahap ini dapat dilihat dengan munculnya produk baru ataupun proses baru walaupun dengan teknologi yang sama.
Kemampuan pemeliharaan dan perbaikan serta pengembangan proses dalam industri pupuk yang diperoleh PT Rekayasa Industri, kerja sama Astra dan Toyota untuk memproduksi 'Toyota-Kijang', dan GE- INKA memproduksi lokomotif CC203 adalah contohnya.
Tahapan ketiga menunjukkan kemandirian teknologi dari industri nasional yang ditandai dengan desain dan produk baru yang dihasilkan dari inovasi. Pembangunan pesawat N-250 oleh IPTN adalah contoh.
Pada tahapan terakhir adalah kegiatan pengembangan industri yang memastikan munculnya inovasi teknologi yang baru. Ini hanya dapat dilaksanakan lewat kerja sama erat antara lembaga riset, termasuk perguruan tinggi, dengan industri melalui kebijakan yang tepat.
Dalam setiap tahapan penguasaan teknologi tersebut, terlihat bahwa fokus sebenarnya adalah pengembangan manusia. Bahkan, sebenarnya, hardware yang secara fisik terlihat dalam proses penguasaan teknologi tidaklah berarti tanpa human capital.
Jika di tahap awal industri hanya memerlukan "operator", tahapan berikutnya memerlukan human capital dengan pendidikan dan ketrrampilan yang jauh lebih tinggi.
Data menunjukkan jumlah pekerja di sektor industri meningkat secara konsisten sejak akhir 1970an sampai sebelum krisis 1997-1998. Secara kualitas juga terjadi peningkatan kompentensi, di mana pekerja dengan pendidikan sekolah menengah meningkat dari 11 persen pada 1980 menjadi 19,7 persen pada 1989, sedangkan untuk yang berpendidikan tinggi meningkat sedikit dari 0,8 persen menjadi 1,1 persen dalam periode yang sama.
Khusus untuk industri strategis, Tabel 4 menunjukkan peningkatan jumlah yang signifikan sejak 1980 sampai dengan 1995, dan menurun drastis sejak 1998.
Ke Depan
Sejak 1998, merosotnya pertumbuhan dan porsi industri manufaktur seharusnya menyadarkan kita bahwa struktur ekonomi yang sehat belum terjadi. Pengembangan industri manufaktur merupakan keharusan dalam era revolusi 4.0 sekarang dan menjadi kunci keberhasilan negara berkembang seperti Indonesia.
Oleh karena itu, perlu tindakan tegas dari masing-masing perusahaan untuk melakukan pembenahan serta aksi dalam bentuk kebijakan nasional yang terpadu dan berpihak pada pemberdayaan industri berbasis teknologi.
Pemerintah harus berani menerapkan kebijakan “ofset” dan substitusi impor. Setiap investasi wajib memberikan kesempatan kepada industri dalam negeri, khususnya yang sudah sempat membangun fasilitas dan kompetensi di bidangnya.
Pengawasan terhadap kesempatan untuk industri dalam negeri bukan hanya melalui Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang seringkali diingkari dengan memberikan denda postaudit.
Penerapan kebijakan substitusi impor akan memberikan insentif kepada industri manufaktur dalam negeri untuk meningkatkan kemampuan. Dengan demikian, ekspor akan terdorong dan menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia pada masa mendatang, bukan sebaliknya.
Heboh soal virus corona seharusnya disikapi sebagai kesempatan membangun kembali industri manufaktur demi masa depan perekonomian Indonesia yang sehat dan kuat.
Fajar Harry Sampurno adalah mantan Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, yang kini menjadi Direktur Utama PT Barata Indonesia
Ada saldo Go-Pay sebesar 50 ribu untuk Sobat Bisnis dengan isi di sini!
"opini" - Google Berita
March 06, 2020 at 04:05PM
https://ift.tt/2Il8HBA
OPINI: Virus Corona dan Industri Manufaktur - Bisnis.com
"opini" - Google Berita
https://ift.tt/2Fl45Kd
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
No comments:
Post a Comment