Saya sudah 30 tahun menjadi dokter. Berbagai pengalaman hidup telah dilalui dalam perjalanan panjang di profesi ini. Namun pengalaman saya menjadi dokter saat pandemi global COVID-19 merupakan jejak hidup terberat.
Di awal karier sebagai dokter di daerah terpencil, selalu saja ada risiko di gigit ular atau diserang binatang buas. Sempat mengalami infeksi malaria karena memang daerah tempat bekerja merupakan daerah endemis. Penyakit tersebut menyerang saya lagi setahun kemudian.
Selanjutnya sebagai dokter spesialis sempat menjadi relawan di tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, gempa Sumatera Barat, banjir Jakarta dan relawan bencana lain dimana bisa saja terjadi berbagai risiko apabila gempa berulang atau pasokan makanan yang sulit diakses.
Namun di saat bencana nonalam seperti saat ini berupa pandemi global COVID-19, hati saya ciut dan ini merupakan hari-hari terberat sebagai dokter. Kita ketahui bahwa infeksi COVID-19 ini menular secara cepat dari satu orang ke orang lain.
Kita harus menyadari sebagian dari kita mempunyai sense of crisis yang rendah, sehingga abai dalam mengantisipasi pandemi global ini. Saat ini ketika dunia menghadapi pandemi global, semua akan mempunyai kebutuhan yang sama. Semua membutuhkan masker. Semua membutuhkan alat pelindung diri. Semua membutuhkan dokter dan perawat. Semua sedang mencari obat dan vaksin. Dalam kondisi saat ini semua negara mempunyai permasalahan yang sama. Alhasil kalaupun obat dan vaksin ditemukan pada satu negara, pemenuhan utama akan diprioritaskan untuk negaranya sendiri.
Menjadi motivasi buat kita semua bahwa kemandirian bangsa bukan hanya jargon yang diucapkan tapi harus dilakukan dan diwujudkan. Pandemi global COVID-19 memang luar biasa yaitu ketika kita tidak bisa bergerak dengan leluasa, tidak berinteraksi langsung dan melakukan pertemuan atau rapat dalam satu ruang tertutup untuk koordinasi mengatasi masalah ini. Pasalnya, kita harus juga menerapkan social distancing. Adapun petugas kesehatan dapat tertular langsung dari pasien yang sedang dilayani, baik di poliklinik maupun dalam kondisi rawat inap.
Hal ini sudah saya prediksi bahwa model penyebaran kontak langsung seperti saat ini membuat petugas kesehatan bisa menjadi korban. Mungkin saat ini virus COVID-19 belum menghinggap di tubuh tetapi bisa saja beberapa waktu ke depan virus ini hinggap dan menyerang paru-paru. Hal yang membuat hati kecil saya lebih ciut adalah ketika mendengar ada perawat yang meninggal diduga karena COVID-19. Begitu pula saat mendengar kabar ada dokter yang positif corona atau ada rekan seprofesi yang melakukan isolasi mandiri, karena pasien yang ditangani di awal pada akhirnya diketahui menderita COVID-19.
Sekali lagi, kondisi demikian membuat hati saya ciut. Apalagi di tengah keterbatasan masker, alat pelindung diri dan hand sanitizer. Di sisi lain dalam kondisi keterbatasan sebagai praktisi klinis saya tetap menerima pasien. Saya tetap melakukan endoskopi dan saya tetap merawat pasien dan hal yang tidak mungkin tidak harus saya dan rekan-rekan sejawat lainnya lakukan. Sebagai dokter senior saya harus memberikan contoh kepada rekan-rekan yunior atau peserta didik saya bahwa saya tetap berada di tengah pasien dan tetap memberi semangat kepada para sejawat agar demikian pula. Tidak meninggalkan gelanggang walau nyawa taruhannya.
Oleh karena itu, penulis ingin mengingatkan bahwa kita harus berperang melawan COVID-19, virus yang menyebar antar manusia dan virus yang dapat menyebar dengan cepat antar manusia melalui percikan. Diharapkan sekali agar semua pihak mengikuti ajakan Presiden Joko Widodo untuk belajar dari rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Dengan cara mengurangi pergerakan manusia dan mencegah interaksi antar manusia secara langsung, angka penyebaran virus ini bisa ditekan.
Semua pihak juga harus menyadari bahwa penanggulangan pandemi global ini harus dilakukan secara gotong royong. Oleh karena itu peduli sesame dan rasa setia kawan harus dimunculkan. Kita tidak tahu apakah kita akan menjadi pasien berikutnya dari virus ini.
Berbagai sarana dan prasarana agar dokter bisa bekerja tenang harus diadakan. Pengadaan masker, alat pelindung diri, dan hand sanitizer harus diadakan dan harus segera didistribusikan kepada rumah sakit. Tentu bukan saja rumah sakit rujukan tetapi juga pemenuhan pada berbagai pelayanan kesehatan tempat para dokter perawat dan petugas kesehatan lainnya berhadapan dengan para pasien yang setiap saat bisa saja menularkan virusnya kepada para petugas kesehatan.
Selain itu berbagai peralatan diagnostik untuk menegakkan diagnosis COVID-19 harus segera dihadirkan agar diagnosis yang tepat dan cepat dapat dilakukan. Kita harus memutus mata rantai penyakit ini. Pergerakan orang harus dicegah untuk menekan penyebaran virus. Social distancing harus konsisten dilaksanakan pada berbagai lini dan sendi-sendi aktifitas masyarakat.
Dampak ekonomi yang muncul akibat masyarakat tidak bergerak harus dikalahkan oleh dampak kesehatan masyarakat yang dahsyat yang akan melumpuhkan semua segi ketika kita menghadapi sumber daya petugas kesehatan yang sakit atau sumber daya yang sedang melakukan isolasi diri.
Alhamdulillah di era teknologi informatika yang tinggi, kita bisa dengan mudah berkomunikasi secara online, belajar secara online dan bekerja secara online. Tatap muka tanpa bertemu. Kita tetap bisa produktif walau berada di rumah. Beri kesempatan agar dokter dan petugas kesehatan dapat bekerja dengan tenang. Tetap semangat. Kita pasti bisa mengalahkan virus ini. Kita musti kompak dan saling mengerti sesama. Salam sehat.
*Penulis merupakan Praktisi Klinis & Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sumber : Bisnis Indonesia
"opini" - Google Berita
March 30, 2020 at 05:02AM
https://ift.tt/2xvgbQm
Tantangan Ekstra Kedokteran | Harianjogja.com - Harian Jogja
"opini" - Google Berita
https://ift.tt/2Fl45Kd
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
No comments:
Post a Comment