Oleh:
Budiman Tanuredjo
Duta Besar Republik Rakyat China untuk Indonesia Xiao Qian menulis di harian Kompas, 17 Maret 2020. Ia berbagi pengalaman bagaimana Pemerintah China memulihkan Wuhan.
Kota berpenduduk 60 juta orang itu ditutup 50 hari. Dubes Xiao menggambarkan semua kekuatan negeri dimobilisasi. Sebanyak 346 tim medis dengan 42.600 personel dari seluruh China dikerahkan ke Wuhan. Hampir semua warga negara membantu. ”Solidaritas dan kerja sama adalah senjata umat manusia paling ampuh mengalahkan bencana,” tulis Dubes Xiao. Itulah gotong royong.
Tulisan Dubes Xiao relevan ketika bangsa ini sedang ”berperang” melawan virus korona. Apa yang dijalani China sejalan dengan semangat gotong royong yang dikumandangkan Presiden Joko Widodo. Semua pihak bergerak dalam satu komando untuk mengatasi pandemi Covid-19. Hampir tidak ada perbedaan pendapat atau persaingan politik di China saat berjibaku mengatasi Covid-19. Suasana itu terjadi karena kepemimpinan kuat Presiden Xi Jinping.
Kepemimpinan tersentral di pusat hingga daerah diyakini sebagai salah satu titik sukses China mengatasi Covid-19. Disiplin masyarakat juga faktor utama lainnya. Suasana itu berbeda dengan Indonesia. Pada awalnya, pernyataan pejabat menghadapi korona membuat orang jengkel. Sikap elite menganggap enteng—seperti korona tak akan masuk Indonesia berkat doa—membuat publik bertanya-tanya. Ini mengurangi kredibilitas pemerintah.
Sebagian elite ramai memperdebatkan istilah social distancing (pembatasan sosial) dan lockdown (penutupan), tetapi dalam pemahaman konsepsi yang berbeda-beda. Bahkan, dalam perdebatan di media sosial terasa social distancing dan lockdown menjadi istilah politik.
Padahal, bangsa kita sejak 7 Agustus 2018 sudah punya payung hukum mengatasi pandemi Covid-19. Pada tanggal itu, Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Jika UU No 6/2018 dipakai, ada terminologi ”kedaruratan kesehatan masyarakat” yang ditetapkan pemerintah pusat. Pandemi Covid-19 sudah bisa dikategorikan sebagai ”kedaruratan kesehatan masyarakat”. Penetapan status itu ditetapkan pemerintah pusat. Jika kondisinya meresahkan, bisa meminta bantuan dunia internasional. Kewenangan menetapkan kekarantinaan kesehatan ada di pemerintah pusat, dan pelaksanaannya melibatkan daerah. Pusat dan pemda bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk penyelenggaraan kekarantinaan.
UU Kekarantinaan mengatur karantina rumah, wilayah, dan rumah sakit. Tingkatan itu sesuai dengan penyebaran wabah. Semangat dasar karantina adalah melarang orang yang dikarantina keluar dari wilayah karantina. Kebijakan pembatasan sosial berskala besar juga diatur. Pembatasan sosial berskala besar meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, dan tempat umum. Ini butuh keputusan cepat dan tepat!
Di tengah diskursus soal Revolusi 4.0 atau Revolusi 5.0, Covid-19 mengajak dunia ini kembali ke hal mendasar. Wabah dan penyakit meluluhlantakkan negara bangsa. Pasar keuangan global dan nasional hancur. Negara melambat. Dunia penuh ketidakpastian. Pada titik inilah kebersamaan manusia diuji. Kewarasan akal sehat diuji. Keteladanan pimpinan formal, pimpinan agama, dibutuhkan! Saatnya elemen bangsa berjibaku, melepaskan baju politik, bergandengan tangan, menjawab tantangan. Pimpinan adalah panutan. Perlu ada satunya kata dan perbuatan.
Disiplin tinggal di rumah, menghindari kerumunan merupakan bentuk bantuan paling sederhana. Sebagaimana tersebar dalam media sosial, bagaimana petugas medis kewalahan mengatasi pasien. Dalam poster yang mereka bawa ada harapan, ”Stay at home and help us, please”. Disiplin tinggal di rumah adalah membantu sesama. Menurut Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, mereka adalah pahlawan kemanusiaan.
Sayang, kebijakan tinggal di rumah atau bekerja dari rumah, dan pembatasan sosial dilaksanakan tidak dengan tanggung jawab. Untuk sebagian orang bandel, imbauan saja tak cukup. Harus ada cara lain. Harus ada kekuatan pemaksa. Pembatasan sosial tidak mencukupi tanpa pemeriksaan cepat dan penapisan cepat, serta persiapan pelayanan kesehatan jika suasana darurat betul-betul terjadi.
Perlu komando mengarahkan siapa berbuat apa dan siapa menyumbang apa. Perlu langkah tegas, cepat, dan terukur. Siapa bertanggung jawab menyediakan alat pelindung diri petugas medis, masker, hand sanitizer, bertanggung jawab mensterilkan wilayah, bertanggung jawab atas keterbukaan informasi. Siapa pula yang menggalang kekuatan sipil, bertanggung jawab mengatasi pasien, mendukung petugas kesehatan yang berada di garda terdepan, serta membangun fasilitas kesehatan darurat.
Kesiapan pemerintah perlu diketahui publik agar publik yakin pemerintah bisa mengatasi. Pembagian tugas terkoordinasi ini diperlukan. Singkirkan rivalitas politik karena korban Covid-19 yang bertambah bukan hanya sekadar statistik, melainkan nyawa manusia!
"opini" - Google Berita
April 01, 2020 at 11:30AM
https://ift.tt/2UVuE03
Ujian Kebersamaan dan Kewarasan - Opini Budiman Eps. 4 - Kompas TV
"opini" - Google Berita
https://ift.tt/2Fl45Kd
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
No comments:
Post a Comment