Oleh Fadhl Abbas Mussa(Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Maluku- Maluku Utara UMI Makassar)
Sudah empat puluh tahun lamanya sejak Undang-undang Desa tahun 1979 yang di buat oleh rezim orde baru meluluhlantakkan kesatuan masyarakat hukum adat. Dengan arus otonomi desa melalui UU Desa Nomor 6 tahun 2014, keran pengakuan status adat kembali dibuka. Gayung bersambut namun lambat. DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) adat sejak tahun 2017 dan baru dapat disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) adat tahun 2019. Namun penulis menilai, banyak kelemahan-kelamahan yang terkandung dalam Perda Adat ini, baik secara yuridis, filosofis maupun sosiologis.
Secara yuridis, Perda adat ini mengandung kelemahan utama. Kelemahan Pertama yakni perda adat telah melampaui limitasi waktu yang disediakan oleh UU DESA 6 tahun 2014 pasal 116 ayat (2) yang berbunyi“Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Peraturan Daerah tentang penetapan Desa dan Desa Adat di wilayahnya” Dilanjutkan pada ayat (3) bahwa “Penetapan Desa dan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.”
Merujuk dari pasal tersebut, dapat dipastikan adanya cacat hukum dalam penyusunan ranperda itu, dimana UU Desa ini sudah diundangkan pada 15 Januari 2014, sehingga Januari 2015 adalah batas akhir penetapan desa adat, tak terkecuali untuk Kabupaten SBB. Perda adat SBB baru disahkan pada tahun 2019, artinya Perda adat itu sudah terlambat 4 tahun lamanya, alias kadaluarsa. Apabila ada yang melakukan uji formil atas perda adat ini di Mahkamah Agung, penulis meyakini perda tersebut akan dibatalkan karena bertentangan dengan amanat UU Desa pasal 116 ayat (3) di atas.
Problem yang Kedua adalah tentang usulan penetepan desa adat yang secara prosedur harus datang dari masyarakat (melalui musyawarah desa) yang diusulkan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), untuk selanjutnya diusulkan kepada Pemda. Sifatnyabottom up, tidaktop downseperti Perda adat SBB.
Menurut hemat penulis, Perda adat SBB melanggar ketentuan Pasal 100 ayat (1) UU Desa yang mengatur tentang alur penetapan desa adat, yang berbunyi :
“Status Desa dapat diubah menjadi Desa Adat, Kelurahan dapat diubah menjadi Desa Adat, Desa Adat dapat diubah menjadi Desa, dan Desa Adat dapat diubah menjadi Kelurahan berdasarkan prakarsa masyarakat yang bersangkutan melalui Musyawarah Desa dan disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.”
Sayangnya, Perda adat SBB ini bukan hanyatop down, bahkan seperti tukang sulap,bimsalabimtiba-tiba muncul nama-namanegriadat tanpa sepengetahuannegribersangkutan. Penulis menyaksikan langsung perdebatan para Kades dan BPD se-Talabatai dengan anggota DPRD dalam forum sosialisasi Ranperda Adat Kabupaten SBB tahun 2018 lalu.
Para Pejabat serta BPD menanyakannegri(sebutan desa adat bagi masyarakat Maluku) mereka kok tiba-tiba masuk dalam daftar desa adat tanpa ada konfirmasi, tanpa diajak bicara lebih dulu dan penelitian terlebih dahulu. Tentunegri-negriadat riang gembita tatkala desanya diakui sebagai desa adat. Namun, pengakuan itu mesti berjalan sesuai amanat UU agar tidak terjadi cacat prosedur dalam proses penetapan desa adat tersebut.
Secara filosofis pun perda adat ini tak luput dari kelemahan. Klaimmata rumah parentahjustru bertentangan dengan perkembangan nilai dalam masyarakat dewasa ini, khususnya nilai Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam konstitusi bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kesempatan yg sama dalam pemerintahan.
Mengutip perkataan ahli Tatanegara Margarito Kamis, dalam bukunyaJalan Panjang Konstitusionalisme Indonesiabahwa “Pergantian sistem Monarki ke Demokrasi esensinya ialah untuk mengagungkan dan memuliakan manusia yang telah dimuliakan oleh Tuhan. Raja adalah hukum, raja adalah negara. Semua atribut itu diperoleh sebab sang raja menasbihkan diri sebagai wakil Tuhan yang tak punya cacat.”
Siapapun yang belajar sejarah tentu paham bahwa konsepsi itu (raja sebagai wakil Tuhan) adalah manipulasi raja-raja Eropa pada zaman dahulu untuk mengamankan kekuasaannya. Apakah raja-raja lokal di Maluku menggunakan cara yang sama? Silahkan anda melacak dan menyimpulkan sendiri. Para Sultan di Nusantara pun mengklaim diri sebagai wakil Tuhan,Khalifatullah.Penulis ingin menegaskan bahwa kekuasaan itu selalu diamankan dengan segala cara, termasuk dengan mengklaim diri sebagai wakil Tuhan dengan mengatasnamakan perlindungan Adat.
Masyarakat SBB perlu sadari bahwa Prinsip HAM sangat dihargai dan dimuliakan. Sehingga syarat suatu desa dapat diakui sebagai desa adat ialah hak tradisional tidak boleh bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 97 ayat (1) Huruf b, “bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat.” Dilanjutkan pada ]ayat (3) huruf, “bahwa substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.”
Mudah saja untuk menarik kesimpulan terkait hal ini, bahwa substansi hak tradisional salah satunyamata rumah parentahyang secara nyata bertentangan dengan HAM, bertentangan dengan konstitusi juga melanggar UU Desa. Olehnya itu, masyarakat adat SBB perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan nilai kontemporer yang diakui dalam konstitusi serta apa disyaratkan oleh UU Desa apabila ingin diakui sebagai desa adat.
Last but not leastialah problem sosiologis dari Perda adat ini. Pertama, konflik internal dalam suatunegriakibat perdebatanmata rumah parentahyang belum usai. Marga apa yang berhak memimpin tidak jarang menimbulkan konflik internal yang berujung pada vakumnya kepemimpinan adat dinegritersebut selama bertahun-tahun. Artinya wa bapabila dalam internal suatunegribelum ada kesepahaman tentangmata rumahmana yang berhak memimpin, tentu akan menjadi konflik besar. Demikian pula dengan kebulatan yang datang dari masyarakat adat yang lain di Kabupaten SBB seperti penulis paparkan di atas.
Kedua ialah, saling intrik antarnegriadat akibat perebutan kedudukan adat. Kita lihat bagaimananegriLoki dan Luhu misalnya, yang adu narasi satu dengan lainnya. Belum lagi Luhu dengan Iha, Latu dan Hualoy,juganegrilain. Ini kenyataan sosial yang tidak perlu kita sembunyikan. Masing-masingNegrimenegaskan kedudukan adatnya. Soal mana yang benar itu urusan sejarah. Untuk pembuktian hari ini tentu sangat konyol, karena akan memicu konflik.
Jangan sampai Perda adat bukannya menjadi payung untuk keharmonisan hidup masyarakat SBB yang dapat menunjang pembangunan demi kesejahteraannegrisebagaimana tujuan otonomi desa tetapi malah sebaliknya, menjadi bom waktu bagi konflik horizontal di waktu mendatang.
"opini" - Google Berita
January 05, 2020 at 12:10PM
https://ift.tt/2STIMHH
OPINI : Menguak Cacat Hukum Perda Adat Seram Bagian Barat - Makassar Terkini
"opini" - Google Berita
https://ift.tt/2Fl45Kd
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
No comments:
Post a Comment